Oleh: Lubis, S.H., M.H
(Lawyer)
Pemerhati Hukum dan Demokrasi
JAKARTA – Pemilu 2029 memang masih empat tahun lagi, namun suhu politik di akar rumput mulai terasa. Di warung kopi, di media sosial, bahkan di ruang keluarga, perbincangan politik kembali menggeliat. Sayangnya, banyak di antara percakapan itu masih terjebak pada isu-isu dangkal siapa yang populer, bukan siapa yang punya gagasan.
Kondisi ini menegaskan satu hal: pendidikan politik di Indonesia masih lemah. Padahal, tanpa pendidikan politik yang kuat, demokrasi mudah terombang-ambing oleh sentimen dan provokasi.
Politik Bukan Sekadar Pilihan, Tapi Kesadaran
Pendidikan politik tidak hanya soal mengenal partai, kandidat, atau sistem pemilu. Lebih dari itu, ia adalah proses membangun kesadaran warga negara untuk berpartisipasi secara rasional dan bertanggung jawab.
Plato pernah mengingatkan, “Salah satu hukuman bagi orang yang enggan berpolitik adalah ia akan diperintah oleh orang yang lebih buruk darinya.” Pesan itu tetap relevan hingga hari ini: rakyat yang apatis justru membuka jalan bagi lahirnya pemimpin tanpa nilai.
Oleh karena itu, pendidikan politik harus diarahkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa politik bukan perebutan kekuasaan semata, tetapi perjuangan ide dan moral untuk memperbaiki kehidupan bersama.
Tantangan Era Digital: Literasi Politik yang Lemah
Kini, ruang politik kita banyak berpindah ke dunia digital. Media sosial menjadi panggung utama pembentukan opini publik. Di sisi lain, ia juga menjadi lahan subur bagi hoaks dan manipulasi informasi.
Penelitian LIPI tahun 2023 mencatat, lebih dari 60 persen masyarakat Indonesia masih mudah terpengaruh oleh berita palsu dalam menentukan pilihan politiknya. Ini menandakan bahwa literasi politik digital masih sangat rendah.
Karena itu, pendidikan politik di era digital harus mencakup kemampuan memilah informasi, memahami framing media, serta berpikir kritis terhadap narasi yang beredar. Masyarakat harus belajar menjadi subjek politik yang aktif, bukan sekadar konsumen informasi yang pasif.
Kemandirian Politik Rakyat
Ciri masyarakat yang matang secara politik adalah kemandiriannya. Rakyat yang sudah terdidik secara politik tidak mudah tergiur oleh politik uang, janji kosong, atau pencitraan sesaat.
Mahatma Gandhi pernah berkata, “Politics without principles is one of the seven deadly sins.” Politik tanpa prinsip, tanpa nilai moral, hanyalah permainan kekuasaan yang berbahaya.
Pendidikan politik harus menanamkan nilai-nilai etika dan kejujuran agar masyarakat memilih berdasarkan visi, rekam jejak, dan integritas calon pemimpin, bukan sekadar siapa yang memberi amplop tebal.
Tanggung Jawab Bersama
Pendidikan politik bukan hanya tugas partai politik atau pemerintah. Ia adalah tanggung jawab kolektif seluruh elemen bangsa.
Perguruan tinggi dapat menjadi ruang dialog antara teori dan realitas politik. Media massa bisa memperkuat literasi politik publik melalui pemberitaan yang edukatif. Sementara organisasi sosial, tokoh agama, dan komunitas masyarakat harus berani turun ke akar rumput, memberikan penyadaran langsung kepada warga.
Program seperti sekolah politik warga, kelas demokrasi, dan pelatihan relawan pemilu perlu diperluas, terutama di daerah-daerah yang masih rentan terhadap praktik politik transaksional.
Menuju Kontestasi 2029 yang Berkualitas
Pemilu 2029 akan menjadi ujian penting bagi kedewasaan demokrasi Indonesia. Generasi muda yang melek teknologi akan menjadi kekuatan dominan dalam menentukan arah bangsa. Namun bonus demografi ini bisa menjadi peluang sekaligus ancaman, tergantung pada seberapa tinggi tingkat pendidikan politik mereka.
Oleh karena itu, lima tahun ke depan harus dimanfaatkan sebagai masa pembelajaran politik nasional. Pemerintah, partai, dan masyarakat sipil harus bersinergi memperkuat literasi politik publik agar rakyat benar-benar siap menjadi pemilih cerdas pada 2029.
Penutup
Pendidikan politik adalah investasi jangka panjang bagi masa depan demokrasi. Ia tidak hanya membuat rakyat tahu siapa yang dipilih, tetapi juga mengapa ia memilih.
Kontestasi politik 2029 tidak boleh sekadar menjadi pesta lima tahunan. Ia harus menjadi momentum kebangkitan kesadaran politik rakyat bahwa demokrasi bukan milik elite, melainkan milik seluruh warga bangsa.
Presiden Soekarno pernah berkata, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu berpikir besar.” Maka sudah saatnya rakyat Indonesia berpikir besar dengan menjadi pemilih yang cerdas, kritis, dan beretika. Karena masa depan negeri ini, pada akhirnya, ditentukan oleh sejauh mana rakyatnya memahami arti dari sebuah pilihan.
Lubis, S.H., M.H (Lawyer) Pemerhati Hukum dan Demokrasi





























